1. GELISAH
Namanya Anisa Eka Purwanti.
Seorang gadis dua puluh tiga tahun yang baru lulus kuliah dari salah satu
perguruan tinggi ternama di kota Malang. Annisa
adalah anak satu-satunya yang dimiliki oleh keluarga Broto Purwanto. Sebagai
anak tunggal tak membuatnya menjadi gadis manja yang selalu menggantungkan
kebutuhannya pada orang tua. Ia adalah gadis yang sangat cerdas dan mandiri.
Karena itulah ia menjadi salah seorang lulusan terbaik di perguruan tingginya.
Kehidupannya
dikelilingi teman dan relasi yang cukup banyak. Semua didukung dengan
pembawaannya yang periang dan ramah kepada siapa saja. Tak pernah ia
membeda-bedakan dan memilih dengan siapa ia akan berteman.
Selain
itu, Anisa juga dikenal sebagai gadis
yang solehah. Semasa kuliah hingga lulus, ia selalu aktif dalam kegiatan
keagamaan dan sosial. Hal itu membuat seluruh teman-temannya merasa kagum dan
segan. Dijalaninya kegiatan demi kegiatan dalam kehidupan sehari-harinya dengan
selalu tersenyum. Yang pasti kehidupannya terasa begitu membahagiakan.
Namun
sayangnya kebahagiaan itu seperti berakhir sejak beberapa bulan lalu. Ia harus
kehilangan ayah yang sangat disayangi dan menjadi panutannya sejak kecil. Sang
ayah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya setelah sekian lama
berjuang melawan kanker prostat yang menggerogoti. Pria paruh baya itu menyerah
setelah melalui beberapa kali pengobatan dan kemoterapi.
Ingatan
Anisa mengembara dan terbang jauh ke masa-masa akhir perawatan ayahnya selepas
dari ruang ICU. Ia menunggui sang ayah yang tergolek lemah tanpa daya di atas
pembaringan. Gadis itu duduk lesu di sebuah kursi yang ada di tepi pembaringan
sambil memandang wajah sang ayah. Dokter baru saja pergi setelah selesai
memeriksa kondisi kesehatan ayahnya. Tiba-tiba Pak Broto mengerjapkan mata
secara perlahan. Tangan kirinya yang tertancap selang infus meraih telapak
tangan Anisa dan menggenggamnya erat. Dari eratnya genggaman seolah tergambar
rasa sakit dan pedih yang sedang dialami sang ayah.
“A … Ayah
sudah bangun?” kata Anisa sedikit terbata.
Ia
tersenyum lebar meski di wajahnya tergambar kekhawatiran mendalam. Pak Broto
perlahan berusaha menoleh dan memandang wajah putri satu-satunya itu.
“Mana …
ibumu?” sahut ayahnya dengan nada lemah.
“Ibu
masih salat asar di musala. Ayah mau Nisa panggilkan ibu?”
“Tidak
usah! Ada yang ingin ayah sampaikan padamu. Mungkin sudah tak banyak waktu yang
ayah miliki.”
Pak Broto
memandang Anisa dalam-dalam sembari sesekali meringis seperti sedang menahan
sakit.
“Jangan
berkata begitu, Ayah! Ayah akan sembuh dan kita akan bisa berkumpul seperti
dulu lagi!” sergah Anisa berusaha menguatkan hati sang ayah.
Tak urung
ekspresi dan kata-kata ayahnya membuat Anisa khawatir dan ketakutan. Pelupuk
matanya terasa berat dan hangat. Tanpa terasa air matanya mulai jatuh berderai.
Pak Broto
berusaha untuk tersenyum. Tangan Pak Broto yang semula menggenggam erat tangan
Anisa mulai bergerak ke wajah putri kesayangannya itu. Perlahan tetesan air
mata di pipi Anisa diusapnya. Anisa yang semakin emosional menggenggam tangan
sang ayah dan di tempelkan pada pipinya.
“Tidak
usah menangis, Sayang! Anisa kan putri ayah satu-satunya yang paling kuat dan
tegar,” balas Pak Broto menguatkan putrinya.
Anisa tak
kuasa berkata-kata seiring semakin derasnya air mata yang mengalir membasahi
pipi. Bibirnya berusaha untuk tersenyum meski terasa buruk karena mimik wajah
yang dilanda kesedihan. Tangan Pak Broto semakin kuat digenggam Anisa.
“Anisa …
ayah hanya ingin berpesan padamu. Setelah ayah pergi, kamu dan ibumu lebih baik
pindah ke Wonosari. Di sana kan ada nenek yang bisa menjaga kalian nantinya.
Satu lagi pesan ayah, di sana kamu harus menjunjung tinggi adat istiadat dan
tata krama dalam bersikap. Karena masyarakat di sana sangat menjunjung tinggi
nilai budaya. Tolong sampaikan juga pada ibumu. Ayah sudah uhuk … uhuuk …!”
Pak Broto
terbatuk-batuk usai berpesan panjang lebar. Sebercak darah nampak keluar dari
mulut dan membasahi sudut bibirnya. Melihat hal itu Anisa menjadi panik.
“Ayah,
Ayah …! Dokteeer …! Tolooong! Tolong Ayah saya, Dokter!” teriak Anisa.
Tak lama
kemudian dokter dan perawat berdatangan ke ruangan itu. Ibu juga datang sambil
tergopoh-gopoh. Anisa memeluk ibu sambil menangis. Keduanya menatap ke arah
ranjang dimana para perawat dan dokter melakukan tindakan medis kepada Pak
Broto.
Beberapa
saat kemudian dokter melihat Anisa dan ibunya sambil menggeleng pelan. Anisa
dan ibu langsung lemas dan sedih tak terhingga. Tangis keduanya pecah. Anisa
menghambur ke arah jasad sang ayah yang terbujur dan ditutupi kain hingga ke
atas kepalanya oleh seorang perawat.
Dipeluknya
tubuh yang mulai membeku dengan diiringi derai air mata. Ia benar-benar tak
menyangka akan kehilangan ayah yang sangat dicintainya.
“Nisaaa
…!”
Terdengar
teriakan seseorang memanggil namanya. Begitu kerasnya hingga membuyarkan
lamunan Anisa akan kenangan sang ayah. Ia sangat terkejut sembari menoleh ke
arah suara. Dilihatnya seorang gadis dan dua orang pemuda sedang menghampiri.
Buru-buru
ia menghapus air mata yang sempat membasahi pipi. Ia tersenyum lalu bangkit
dari tempat duduknya. Tangannya terkembang menyambut gadis di hadapannya yang
juga berlari sambil tersenyum dan mengembangkan tangan. Keduanya pun berpelukan
erat.
“Rensi,
kamu kapan datang?” tanya Anisa pada gadis yang sedang dipeluknya.
Gadis
yang dipanggil Rensi itu melepas pelukan dan menatap wajah Anisa lekat-lekat.
Bibirnya menyunggingkan senyuman, menampakkan sederet gigi putih yang berbaris
dengan rapi.
“Aku sih
baru datang, tapi langsung ke sini saat dengar kamu pulang kampung! Aku kangen
banget sama kamu, Nis!” jawab Rensi.
Wajahnya
menampakkan ekspresi sangat gembira. Bagaimana tidak, Rensi dan Anisa adalah
sepasang sahabat sejak kecil. Mereka terpisah ketika orang tua Anisa memutuskan
untuk mengajak Anisa menetap di kota Malang. Sejak itu bertahun-tahun mereka
tak pernah bertemu, meski sempat beberapa kali pula Anisa pulang kampung. Dan
ini adalah pertemuan pertama mereka sejak perpisahan itu.
“Hei, hei
… sama aku gak kangen? Masa cuma Anisa, aja!” tukas seorang laki-laki yang
sedang berjalan bersama seorang laki-laki lainnya di belakang Rensi.
“Apaan
sih kamu?!” dengus Rensi sambil memukulnya.
Pria itu
hanya tertawa sambil menghindar. Dia adalah Bayu, sedang pria satunya yang
pendiam adalah Galang. Mereka berdua juga teman-teman masa kecil Anisa. Sejak
kedatangan Anisa ke desa ini sesuai pesan almarhum ayahnya, hanya mereka berdua
yang bisa Anisa temui. Teman-teman Anisa yang lain kebanyakan sudah merantau
atau pindah ke kota lain sebagaimana dirinya dulu. Termasuk sahabatnya Rensi
yang memilih kuliah di Jakarta dan baru bisa ia temui sekarang ini.
Selama
sebulan sejak kepindahan Anisa ke desa Wonosari, Bayu dan Galang lah yang
menemani hari-hari Anisa dalam menghibur diri. Gadis itu berusaha melupakan
kenangan dan kisah pahit dalam hidup. Meski ia tahu tak semudah membalik
telapak tangan untuk melupakan kenangan indah yang terjalin bersama ayah
tercinta.
Mereka
berempat bersenda gurau dan mengobrol mengenang masa kecil mereka yang cukup
mengesankan. Dalam hati Anisa, kehadiran para sahabat dan teman masa kecilnya
memang mampu menghapus luka dalam diri dan menghilangkan sejenak keresahan yang
melanda. Namun begitu, entah kenapa sejak seminggu terakhir ia selalu merasa
gelisah setiap kawan-kawannya pergi. Seolah ada sebuah kekuatan yang membuat
hatinya ingin selalu bersama mereka. Anisa merasa gelisah, bagaikan sedang
memendam rindu yang mendalam.
Ia sendiri tak tahu apa yang menjadi penyebab kegelisahannya. Biasanya untuk menenangkan diri ia selalu mengambil wudu dan melakukan salat. Begitulah rutinitas yang dilakukannya beberapa waktu ini.
Keren.
BalasHapusAlhamdulillah... Terima kasih banyak Bu...
Hapus