SIMPUL MATI
(PROLOG)
Malam
terasa semakin kelam. Cahaya rembulan nampak malu-malu bersembunyi di balik
awan. Semilir angin bertiup lembut melenakan, membuat orang-orang memilih
bersembunyi di balik selimut daripada bercengkrama di luar rumah. Hawa dingin
menusuk tulang hingga sumsum. Orang-orang pun semakin memperketat selimut untuk
mengusir rasa dingin
Sementara
itu di hutan pinggir desa, nampak
bayangan seorang pemuda menembus gelapnya malam dengan hanya berbekal
obor di tangan. Ia berjalan tergesa-gesa menyibak rerimbunan semak dan
menyusuri sela-sela pepohonan. Suara jangkrik mengerik di kesunyian diseling
suara burung hantu membuat bulu kuduk merinding.
Beberapa
kali pria itu terjatuh karena terantuk akar yang melintang. Namun ia segera
bangkit dan kembali berjalan menembus pekatnya malam. Beberapa duri semak-semak
menusuk dan melukai betisnya yang terbuka karena celana disingsingkan. Rasa
perih tak lagi dirasakan. Tertutup oleh kekuatan tekad untuk meraih sebuah
tujuan.
Tak lama
kemudian ia melihat cahaya lampu minyak yang berasal dari sebuah gubuk di
tengah hutan nan gelap. Pemuda itu terdiam sejenak di depan bangunan kurang
terawat itu. Ia celingak-celinguk untuk memastikan tidak ada orang yang
mengikutinya. Mulutnya meniup nyala obor yang langsung padam seketika. Kedua
bola matanya mengamati gubuk yang ada di hadapan.
Bangunan
itu sebagian dibuat dari papan kayu dan sebagian lagi dari anyaman bambu.
Warnanya sengaja dibiarkan alami tanpa polesan cat sehingga terkesan kumuh saat
dalam kondisi tak terawat. Atapnya menggunakan daun rumbia yang sudah dianyam
dengan baik. Tak ada tanaman penghias di sekitarnya kecuali pohon beringin yang
cukup besar menambah kesan angker. Penerangan yang ada di rumah itu hanya
sebuah lampu minyak yang ada di luar gubuk.
Ada rasa
ragu dalam diri laki-laki itu untuk melangkah dan mendekati gubuk. Padahal tadi
tekadnya sudah bulat untuk menemui penghuni gubuk itu.
“Masuklah!
Jangan berdiri saja di situ!”
Terdengar
suara seseorang dari dalam gubuk. Sepertinya penghuni gubuk telah mengetahui
kedatangannya. Pemuda itu merasa aneh. Bagaimana kehadirannya telah diketahui?
Sementara tadi ia datang dengan mengendap-endap tanpa suara. Selain itu pintu
dan jendela gubuk tertutup rapat. Tak mungkin bagi penghuni gubuk melihat
kehadirannya. Atau mungkin penghuni gubuk mengintip dari celah dinding bambu,
pikir pria itu.
“Ba-ba-baik,
Ki!” sahut pemuda itu.
Ia
melangkahkan kaki perlahan. Sekujur badannya terasa gemetar bukan hanya karena
rasa dingin menusuk tulang, tapi juga karena rasa takut mulai menyerang.
Tangannya membuka pintu perlahan. Engsel pintu berderit mungkin karena sudah
dimakan karat dan tak pernah diberi minyak untuk pelumas.
Krieeett
….
“Pe-permisi,
Ki!” salam pemuda itu saat memasuki rumah.
Suasana
di dalam rumah nampak gelap gulita. Penerangan hanya berasal dari dua buah obor
yang ada di sudut depan pemuda itu. Ia duduk bersila sementara dihadapannya
terhampar berbagai macam bunga dalam sebuah wadah, sebuah mangkuk, dan tempat
berisi arang yang mengepulkan asap kemenyan.
“Aku tahu
maksudmu ke sini!” kata penghuni rumah yang ternyata seorang yang sudah tua.
Dengan
memakai pakaian berwarna hitam serta mengenakan ikat kepala atau udeng, ia
duduk berhadapan dengan pemuda yang baru datang tadi. Tangannya terulur sembari
mulutnya komat-kamit seolah sedang membaca mantra. Laki-laki tua itu kemudian
berhenti dan menatap pemuda di depannya dalam-dalam.
“Kau
butuh bantuanku untuk mendapatkan hatinya bukan?” kata pria tua itu.
Dalam
hati pemuda itu bertanya-tanya, dari mana sebenarnya orang di depannya ini tahu
maksud kedatangannya. Padahal ia sendiri belum mengutarakan maksud dan tujuan
datang ke sini.
“Be-benar,
Ki!”
“Hemm ….
Aku bisa membantumu, tapi …”
“Tapi apa
Ki?”
“Kalau
terjadi sesuatu, aku tidak akan bertanggung jawab! Kau harus menanggung
risikonya! Mengerti?!”
“B-baik,
Ki! Saya siap menanggung risikonya!”
“Kalau
begitu kau harus mengikuti ritual dulu! Ayo keluar!”
Laki-laki
tua itu keluar rumah diikuti oleh si pemuda di belakangnya. Mereka menuju ke
bawah pohon beringin yang ada di dekat gubuk. Di bawah pohon terdapat sebuah
batu yang cukup besar. Sebuah gentong tanah liat yang ada di samping gubuk
diangkat dan diletakkan di samping batu besar tadi oleh laki-laki tua itu.
“Sekarang
buka semua pakaianmu dan bersemadilah di atas batu ini,” perintah laki-laki tua
itu.
Tanpa
berkata-kata si pemuda menanggalkan pakaiannya satu persatu. Sejenak ia
berhenti seolah keraguan sedang menyergap hatinya. Namun tekad yang membara
membuatnya mengikuti perintah orang di depannya.
Rasa
dingin langsung menyergap saat ia mengatur posisi di atas batu besar. Pemuda
itu duduk bersila. Matanya dipejamkan sedangkan pikirannya difokuskan pada satu
hal yang menjadi tujuannya. Mulutnya bergumam pelan menyebutkan nama seseorang.
Sementara
itu laki-laki tua di hadapannya kembali merapal mantra sembari tangannya
bergerak ke sana ke mari. Diambilnya air bercampur kembang yang ada dalam
gentong menggunakan gayung dari batok kelapa. Air itu disiramkan pada pemuda di
hadapannya mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki sambil terus merapal
mantra.
Beberapa
saat kemudian laki-laki tua itu menyudahi ritual mandi kembang dan mengajak si
pemuda masuk ke dalam gubuk.
“Kau
membawa bagian tubuhnya juga bagian tubuhmu?” tanya laki-laki tua itu.
“Iya, Ki!
Ini …!” kata si pemuda sambil menyodorkan sesuatu dari sakunya.
“Letakkan
di sini!” perintah laki-laki tua itu sambil meletakkan selembar kain putih..
Si pemuda
meletakkan dua helai rambut. Yang satu panjang, sedang satunya pendek.
Selanjutnya laki-laki tua itu meletakkan beberapa helai kelopak bunga mawar,
melati, dan kantil lalu menaburinya dengan kemenyan. Kain berisi benda-benda
itu dilipatnya lalu di putar-putar di atas asap kemenyan yang masih mengepul
sembari dibacakan mantra. Setelah itu bungkusan itu diikat dengan benang putih
dan disimpul mati sehingga sukar untuk dibuka.
“Kau
tanam ini di tempat yang mudah dia lewati! Jangan sampai ada yang tahu. Maka
keinginanmu akan segera tercapai. Jika sampai ada yang tahu, atau dia lebih
kuat pertahanannya, maka kau akan celaka. Mengerti!” kata laki-laki tua itu
seraya menyerahkan bungkusan yang disimpul mati.
“Baik,
Ki!” sahut pemuda di depannya.
Keren...bingitzz
BalasHapusAlhamdulillah... Maturnuwun Mbak...
HapusMantap.... Keren!
BalasHapusAlhamdulillah... Terima kasih banyaj Bu...
HapusGood. Good
BalasHapus